Rabu, 30 September 2015

KRITIK SOSIAL HAMKA LEWAT KARYA-KARYANYA

Sebagian orang mungkin menilai seni hanya sebagai sebuah karya estetika semata yang cuma bicara soal keindahan. Namun sejatinya, seni bisa lebih dari itu. Seni seringkali bisa tampil sebagai senjata yang tidak kalah tajamnya dibandingkan dengan senjata yang sesungguhnya.

Karena itulah misalnya, dalam berbagai gerakan revolusi, seni seringkali menjadi ujung tombak. Di era revolusi Indonesia menuju kemerdekaan, kita punya angkatan 45 yang karya-karyanya begitu kental dengan semangat perjuangan. Memasuki medio 60-an, PKI faham benar dengan ini, karena itulah mereka sampai membentuk LEKRA yang kemudian berkat propaganda Orde Baru sangat terkenal dengan lagu Genjer-genjer-nya. Bahkan menjelang reformasi, Wiji Thukul dengan puisi-puisinya menjadi salah satu orang yang dianggap berbahaya dan perlu untuk dihilangkan.

Sebuah karya sastra yang baik harus mampu menangkap semangat zamannya. Karena itulah, tidak jarang sastra adalah cara yang tepat untuk menyampaikan kritik-kritik sosial terhadap ketidakadilan, pendobrakan terhadap kekolotan serta menyuarakan tuntutan revolusi.

Beberapa hari ini saya baru menyelesaikan membaca salah satu karya dari negarawan, ulama sekaligus sastrawan brilian yang pernah dimiliki negeri ini, Buya HAMKA. Merantau ke Deli adalah karya ketiga setelah Di Bawah Lindungan Ka’Bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wiijck. Masih mengangkat tentang kisah romansa yang mengharu biru, Merantau ke Deli lebih menyasar konflik hubungan yang lebih dewasa yaitu rumah tangga.

Haji Abdul Malik Karim Amrullah, salah satu sastrawan, negarawan dan juga ulama
(sumber gambar: wikipedia)
Namun jika ditanyakan kepada saya, apa sebenarnya yang ingin disampaikan Buya Hamka dari ketiga karyanya yang telah saya baca ini, jawaban saya hanya satu, “Hamka (yang notabene adalah orang minang) sedang protes terhadap hukum adat istiadat minang.” Adat-istiadat Minangkabau yang matrilineal dengan segala tetek bengeknya adalah salah satu fokus kritikan utama Hamka, yang dibeberapa karyanya tersebut digambarkan sebagai penyebab terpisahnya tokoh-tokoh utama yang sebenarnya saling mencintai.

Protes ini terasa kental sekali dalam misalnya Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli yang mana kisah cinta utamanya adalah tentang dua karakter yang berbeda suku. Yang satu orang Minangkabau asli dan yang satu adalah orang yang berasal dari suku lain. Uniknya, kedua novel itu memberikan kita gambaran bagaimana dampak dari sistem adat Minangkabau yang matrilineal itu berlaku baik pada kaum perempuan maupun laki-laki. Di TKVDW, Hayati yang orang minang, sementara Zainuddin, yang orang minang-makasar tak dianggap bersuku minang. Sementara di  MKD, Leman-lah yang orang Minangkabau, sementara istrinya Poniyem adalah orang Jawa. Digambarkan pada kedua kisah itu, bagaimana adat minang yang kaku itu membuat tokohnya mengalami kemalangan.

Saya tidak ingin ikut menghakimi adat Minangkabau yang saya sendiri tidak begitu tahu bagaimana bentuknya. Lagipun saya yakin, Hamka menangkap wajah zaman itu dimana untuk hari ini mungkin telah banyak terjadi perubahan dalam adat-istiadat tersebut. Namun kalau kita melihat karya-karya Hamka ini, bolehlah kita bersetuju bahwa adat-istiadat yang berlaku saat itu kerap kali merugikan dan dianggap tidak tepat.

Hamka seolah ingin menegaskan bahwa adat-istiadat yang berlaku di ranah Minang kala itu lebih banyak karena pertimbangan harta. Hamka yang juga seorang ulama mungkin hendak pula mengkritik kebiasaan adat tersebut yang  ia anggap tidak sesuai ajaran Islam. Padahal sudah umum tersebut bahwa di tanah minang, Adat bersendi syara’, dan syara’ bersendi kitabullah.


Konon MKD adalah karyanya yang dianggap terbaik oleh HAMKA sendiri
(Sumber gambar: koleksi pribadi)
Juga kerasnya kritik Hamka adalah perasaan bangga diri orang Minangkabau dengan kesukuannya. Hal ini tampak jelas dalam kalimat, tiada beradat, bersuku, berlembaga, berkaum kerabat, berninik-mamak yang terus diulang-ulang yang dirujukkan pada tokoh-tokoh yang tak bersuku Minang. Bahkan dalam MKD, tokoh Poniyem yang secara budi bahasa, kelakuan dan perangai disukai oleh semua kerabat suaminya, namun tetap saja dipandang rendah hanya terkarena mereka bukan “orang awak”. Hanya orang minang yang dianggap bersuku berlembaga, sementara orang luar tidak.

Hamka juga menggambarkan perangai orang Minang yang tidak pula selalu baik. Misalnya Aziz pada TKVDW dan Mariatun dalam MKD. Seolah Hamka ingin menegaskan bahwa dengan menjadi orang minang tidak membuat seseorang menjadi lebih baik. Selain itu dalam kedua novel itu juga dimunculkan tokoh yang orang Minangkabau asli namun tidak merasa menurutkan adat itu adalah sebuah keharusan. Hal ini bisa dilihat pada karakter Muluk dan Bagindo Kayo yang keduanya menjadi teman diskusi bagi si tokoh utama. Kedua tokoh ini seolah menjadi wakil Hamka untuk “berbica” di dalam novelnya. 

Khusus untuk MKD, kita juga mungkin akan dapat menyimpulkan bagaimana pandangan-pandangan Hamka soal poligami. Hamka, meski dalam banyak kesempatan mengaku tak keberatan dengan praktik poligami, namun dalam novel ini ia bisa menggambarkan dengan jelas bagaimana beratnya praktik tersebut dari sisi perempuan. Setidaknya hal ini akan membuka cakrawala baru bagi kita untuk mengenal lebih dalam lagi tentang sosok Hamka.

Pada akhirnya kedua novel Hamka ini adalah cara Hamka untuk bicara terhadap perlakuan adat kaumnya pada zaman itu. Dan sebenarnya Hamka tidak sendirian. Banyak penulis-penulis yang menyampaikan "sesuatu" melalui karya-karya mereka.

Pramoedaya Ananta Toer misalnya dengan novelnya yang paling populer Bumi Manusia yang secara tidak langsung sedang ingin mendobrak pemikiran-pemikiran feodalisme masyarakat Jawa pada masa itu serta menyampaikan pesan bahwa setiap orang bisa mengubah nasibnya.  Ataupun seperti novel Max Havelaar karya Multatuli, penulis kenamaan asal Belanda yang memberikan gambaran secara jelas bagaimana penderitaan hidup sebagai bangsa terjajah yang dialami bangsa Indonesia di era Hindia Belanda.


Max Havelaar, salah satu novel yang penting untuk sejarah Indonesia.
(Sumber gambar: dokumentasi pribadi)
Tapi bagaimanapun, menurut saya sastra tetap adalah sebuah karya seni. Sebagai sebuah karya seni, sisi keindahan dan estetika tetap harus diperhatikan. Jangan sampai karya sastra berubah menjadi sekumpulan khotbah yang membosankan. Sastra tetap harus hadir sebagai sastra. Segala pesan moral, kritik sosial atau apapun yang ingin disampaikan oleh pengarang haruslah tersampaikan secara halus. 

Karena itulah, sastra yang baik adalah karya sastra yang mampu memberikan pemahaman, pencerahan dan pemikiran yang baru bagi mereka yang telah usai membacanya, namun di sisi lain tidak merasa sedang diceramahi dengan segepok ajaran-ajaran yang terkesan seperti dogma.

Dan menurut saya Hamka berhasil melakukan itu dalam karya-karyanya. Begitupun Pram dan Multatuli.

17 komentar:

  1. Kira kira merantau ke Deli bakal dijadiin film juga gak ya? soalnya 2 buku lainnya difilmkan dan emang bagus.

    Btw bagus banget pemaparannya, ternyata sastra bisa jadi kritikan sosial di zamannya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Karya Hamka sebenarnya simpel, konfliknya nggak banyak. Kalau mau di filmkan dibutuhkan formula yang tepat agar nggak mengecewakan. Kalau saya sih yang dibawah lindungan ka'bah filmnya agak kurang memuaskan, kalo yang TKVDW lumayanlah. Kalau Merantau Ke Deli dibuatkan film, semoga tidak mengecewakan dan digarap dengan serius.

      Hapus
  2. Fungsi novel sastra emang bener sebagai pemantik agar pembaca mempertanyakan ulang soal tata nilai yg berlaku di masyarakat.
    Belum baca karya-karya Hamka, tapi satu kutipannya yg paling saya suka tuh "Kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja sekadar bekerja, kera juga bekerja."

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar mas, kebanyakan penyair dan sastrawan tak jarang sangat keras menyampaikan kritiknya lewat karya.... Taufik Ismail, Pramoedya, Hamka dan Rendra terbukti nggak bisa dibungkam oleh kekuasaan

      Hapus
  3. Iya, Mas...
    terkadang selain lisan, tulisan pun dapat mengubah dunia...
    hehehe...

    BalasHapus
  4. Bokap gue ngefens banget ama Buya Hamka,, dan gue juga lg mau baca novelnya yg TKVDW..
    Btw, gue jg setuju kalo seni bisa mjd kritik sosial,, seniman yg gue kagumi tentunya Cak Nun hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah Cak Nun memang salah satu seniman masa kini yang masih eksis dan sarat dengan kritik sosial dan budaya. Baca deh karya Hamka, juga Pramoedya, dll

      Hapus
  5. Karyanya sepanjang masa banget.
    Karya-karya HAMKA emang cadas. Favorit saya tetap TENGGELAMNYA KAPAL VAN DERVICK.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama mas, TKVDW yang paling romance sih.. tipe-tipe roman klasik walau konon katanya ada dugaan plagiatisme di dalamnya. Nggak pernah dibantah dan nggak pernah dibenarkan juga... masih jadi perdebatan hingga sekarang...

      Hapus
  6. Ngomongin tulisan buya hamka, yg aku baru baca cuma tenggelamnya kapal van der wijk, itupun hasil penasaran dari filmnya, jadi pengin baca bukunya juga :)))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar mas, karya Hamka adalah salah satu literatur sastra klasik Indonesia yang layak baca. Sambil belajar gimana seorang sastrawan harus menangkap suasana jaman dan menyampaikan pula kritik sosialnya secara halus...

      Hapus
  7. berat mas bacaannya, berapa hari bisa baca buku seperti itu? :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau novel-novel Hamka pendek-pendek mbak. 2-3 hari juga selesai...

      Hapus
  8. Halo mas..saya suka baca novel2 ringan tp saya juga suka novel2 sastra klasik yang sarat dengan kritik sosial. Setuju jg sama tulisan mas, karya tersebut dikemas dengan halus bahkan ada bumbu2 romance sehingga terasa dekat dan gak merasa dikhotbahi. Salam kenal mas Iman. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Menurut saya sih memang begitulah sastra itu seharusnya. Saya sih nggak mentingin harus ada pesan moral atau gimana, tapi sebuah karya bagus bakalan tetap bagus, sebuah karya yang jelek bakalan tetap jelek. Intinya berkarya yang baik, dan kalau ada pesan yang ingin di sampaikan, maka dia pasti akan tersampaikan dengan baik...

      Hapus
    2. Nah, pas banget, setuju. Saya juga masih belajar terus buat berkarya yang baik. :)

      Hapus

Copyright © 2014 SANTOSA-IS-ME