Kamis, 08 Oktober 2015

3 ALIF LAM MIM : BUKTI FILM INDONESIA MASIH PUNYA NYALI

Saya mungkin boleh dibilang salah satu penonton film Indonesia yang cukup skeptis. Setiap kali produksi baru film Indonesia muncul di layar lebar bioskop, saya biasanya buru-buru memandang sebelah mata. Apalagi ketika ada film luar yang keluar dalam rentang waktu bersamaan, film Indonesia cenderung saya nomer duakan.

Karena itulah, list film-film Indonesia yang saya tonton di bioskop cenderung sedikit. Dan bahkan sebagian besar malah menonton bukan karena keinginan sendiri, melainkan faktor eksternal seperti diajak teman ataupun karena ditraktir. Dan sialnya, kebanyakan berakhir mengecewakan dan membuat trauma. Akibatnya hingga sekarang, saya selalu berpikir berkali-kali hendak ke bioskop.

Adapun beberapa film yang beruntung saya tonton atas kemauan sendiri antara lain adalah sekuel film The Raid, Berandal. Selain karena memang filmnya sendiri sedemikian hype akibat edisi pertamanya, Berandal masuk dalam list layak tonton. Dan hasilnya, menurut saya sangat sesuai ekspektasi. Bahkan, meski beberapa teman saya tidak sepakat, saya menganggap sekuelnya ini jauh lebih seru ketimbang yang pertama. Yang kedua, adalah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Saya adalah penggemar berat Hamka. Dan ketika novel ini hendak difilimkan, jelas saya antusias, meski saya agak sedikit ragu, terutama kalau mengingat film Di Bawah Lindungan Ka'bah. Karena itulah, saya menimbang-nimbang sangat lama. Akibatnya saya baru menontonnya ketika versi ekstended (yang menurut saya kepanjangan) dikeluarkan beberapa bulan setelah versi awalnya keluar. Meski masih banyak kelemahan, namun menurut saya, TKVDW dibuat dengan cukup serius dan ambisius. Sehingga bisa dibilang, film tersebut tidaklah mengecewakan.

Sebenarnya banyak film-film Indonesia yang bagus. Punk in Love, Mamacake, Fiksi, Kapan Kawin hingga Tabula Rasa dan Mencari Hilal. Sayangnya, sebagian besar tak sempat saya saksikan di bioskop. Entah apa sebabnya, mungkin karena kurang promosi. Terakhir saya sedih sekali ketika melewatkan film Mencari Hilal, yang oleh salah satu review film sampai mengatakan bahwa ini adalah "film Indonesia yang langka." Sejak itulah saya berjanji, akan selalu mengecek benar-benar setiap film Indonesia yang sedang tayang di bioskop. 

Nah ketika film "3" ini naik layar, saya tidak benar-benar memperhatikan. Promo film ketika itu lebih banyak mengarahkan saya pada 3 Dara, Hotel Transylvania hingga The Martian yang memasang nama Matt Damon di dalamnya. 3? Hampir tidak saya begitu perhatikan.

Bersyukur tidak melewatkan film bagus ini...
(sumber gambar : premiermagz.com)
Ketika akhirnya melihat trailernya pun, saya tidak begitu tertarik. Sekilas hanya terlihat sebagai sebuah pengikut untuk kesuksesan The Raid. Maklum, pasca The Raid, trend film bahkan sinetron tonjok-tonjokan kembali menjamur. Di trailer juga memperlihatkan tema yang diangkat juga soal agama, termasuk terorisme. Saya termasuk bukan penggemar film dengan jualan isu kontroversial macam terorisme dan poligami. Terlebih ketika sang sutradara atau penulis cerita tak bisa menyampaikan "suaranya" dengan rapi dan halus. Karena itulah saya tidak pernah ngefans dengan Hanung Bramantyo ketika dia menggarap tema religi atau kisah-kisah Asma Nadia. Saya lebih suka cerita macam 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta, Rindu Kami Padamu, Mamacake atau yang terbaru Mencari Hilal. Film yang cenderung ringan, tidak mencoba menghakimi siapapun, namun menghadirkan pertanyaan-pertanyaan sekaligus perenungan.

Dari sisi cast-pun, tidak banyak yang sanggup mendorong saya untuk rela ke bioskop. Benar-benar diantara deretan nama terkenal di film ini, hanya Agus Kuncoro-lah yang boleh dibilang jadi favorit saya sebelumnya. Selebihnya, meski saya akui punya kualitas mumpuni namun tak ada yang jadi favorit saya. Keengganan saya menonton bertambah, kerena ketika beberapa blogger review film yang rutin saya ikuti belum juga mereview film tersebut. Bahkan hingga hari ini, diantara blog-blog tersebut baru satu yang sudah menuliskan review. 

Namun film ini sendiri bukan tanpa daya tarik. Anggy Umbara adalah daya tarik utama bagi saya untuk mempertimbangkan menontonnya. Sejak melewatkan Mamacake dari bioskop, saya berjanji akan menonton semua film karya Anggy di bioskop. Meski janji itu langsung saya ingkari dengan melewatkan Cowboy Junior the Movie, namun setelah itu Anggy tidak pernah mengecewakan saya. Selain itu, setting distopia Indonesia (Indonesia masa depan) dengan premis agama yang justru menjadi minoritas cukup membuat penasaran. Meski genre distopia memang sedang trend di dunia film, namun membayangkan sineas Indonesia yang bujet dan tekhnologinya terbatas mengangkat cerita macam ini jelas membuat saya ingin melihat seperti apa hasilnya. Sebenarnya, bukan dua hal itu yang akhirnya meyakinkan saya untuk ke bioskop, melainkan bahwa saya berpotensi tidak akan pernah menyaksikan film ini tayang di televisi karena adegan-adegan keras yang ada di dalamnya. Karena itulah, saya datang ke bioskop dengan ekspektasi yang tidak tinggi-tinggi amat, hanya berharap Anggy Umbara tidak akan mengecewakan saya.

Dan hasilnya justru Anggy memberikan kejutan untuk saya, hingga akhirnya saya merasa harus menulis review ini. Selain sebagai apresiasi, juga ajakan agar lebih banyak masyarakat Indonesia yang mau datang ke bioskop menyaksikannya. Jujur, ketika menyaksikan film ini, dalam hati saya terus saja marah-marah mengapa film ini tidak mendapat promosi yang cukup memadai. Semakin kesal mengingat saya sendiri juga hampir saja melewatkannya. Sekedar informasi, film ini saya tonton dua hari yang lalu. Dan ketika tulisan ini saya buat, film "3" sudah hilang dari layar bioskop kota saya (cuma kebagian layar 7 hari). Sungguh menyedihkan.

3: Alif Lam Mim, bercerita tentang Indonesia tahun 2036. Ketika itu revolusi telah merubah segalanya. Agama menjadi sesuatu yang asing dan dimusuhi. Perdamaian diagungkan. HAM ditegakkan, sehingga penggunaan senjata dengan peluru tajam ilegal dan tidak dibenarkan bahkan pada aparat sekalipun. Tiga sahabat yang tumbuh dari pesantren dan memiliki kemampuan martial art yang nyaris sama kuatnya, memilih jalan yang berbeda. Alif (Cornelio Sunny) seorang polisi yang lurus dan penuh idealisme, Lam (Abimana Aryasatya) menjadi seorang wartawan investigasi, serta Mim (Agus Kuncoro) yang memilih tetap di pondok dan mendalami agama.

Cerita kemudian bertolak ketika terjadi sebuah ledakan di kafe yang kemudian tuduhannya diarahkan kepada pesantren tempat Mim berada. Akibatnya Alif dan Mim terpaksa berdiri dalam dua kubu yang saling berhadapan. Sementara Lam yang seolah berada ditengah antara dua sahabatnya itu terus menjadi penyeimbang, dan bahkan menjadi penggerak utama cerita hingga sampai pada titik klimaks bagi masing-masing karakter utama. Pace-nya pun terjaga bahkan hingga akhir dengan rangkaian twist yang berlapis-lapis. Mungkin saja ada plot hole di dalamnya, tapi jarang film Indonesia yang hadirkan cerita dan skrip serapi ini.

Kelemahan sebagian besar film Indonesia selama ini adalah pada skenario dan cerita. Dan film ini berhasil keluar dari stigma tersebut. Plot dan cerita yang terbangun dalam film ini terasa begitu mengalir dan mulus. Skenario keroyokan Umbara bersaudara itu terbukti berjalan dengan memuaskan. Beberapa bagian masih terasa kurang meyakinkan, namun tidak sampai mengganggu. Setidaknya hal tersebut mampu tertutupi oleh kelebihan-kelebihan film ini yang lainnya.

Sebagai film action, Anggi menghadirkan koreografi dengan mengambil dari seni bela diri pencak silat. Cukup memuaskan sebenarnya, namun efek slow motion (yang memang jadi ciri khas Anggi) terasa agak berlebihan. Dramatisasi mungkin perlu, namun terasa aneh jika terlalu banyak. Film ini rasanya perlu aksi baku hantam yang lebih real. Slow motion diperlukan sesekali untuk penegasan aksi tertentu, namun di film ini Anggi memberikan porsi untuk itu terlalu berlebihan.

Untuk jajaran akting sendiri tampil sangat prima. Abimana Aryasatya adalah bintang yang paling terang, setidaknya sampai dua pertiga bagian film. Cornelio Sunny pun tampil lugas dalam peran perdananya di layar lebar, dan Agus Kuncoro tetap tampil dalam kualitas ia yang biasanya, walaupun menurut saya pribadi harusnya porsi penceritaan karakter Mim bisa lebih dalam lagi.

Untuk karakter pendukungpun nyaris semua tampil kuat. Meski menghadirkan banyak tokoh dan karakter, namun semua berhasil hadir dalam porsi yang pas dan tidak tumpang tindih. T. Rifnu Wikana, Donny Alamsyah, Piet Pagau, Verdi Solaiman hingga aktor cilik Bima Azriel tak sekedar hadir sebagai tempelan, melainkan justru memperkuat cerita dan penokohan para karakter utama. Terlebih pula dua pemeran wanita, Prisa Nasution dan Tika Bravani yang memberikan warna luar biasa untuk karakternya masing-masing. Kredit khusus bisa ditujukan kepada Tika yang mampu tampil sebagai istri yang mungkin jadi idaman setiap pria.

Meski hanya hadir dalam jumlah scene yang sedikit (bahkan sama sekali tak muncul dalam trailer kecuali suaranya), Tanta Ginting sukses memberi kejutan dan mencuri perhatian. Sebelum film ini, saya bahkan tak tau siapa dia dan film apa yang pernah dibintanginya selain 3 Dara. Namun peran singkatnya di film ini benar-benar mencuri perhatian saya dan membuat ia nampaknya bakal masuk dalam list aktor favorit saya. Dan Rio Dewanto yang cuma muncul sekilas memberi harapan bahwa film ini hadir untuk jadi sebuah franchise. Sebuah rencana yang ambisius dari sang kreator dan sang produser Arie K. Untung (Ya, memang Arie Untung yang itu!).
Penggambaran Indonesia masa depan yang menarik...
(sumber gambar : bintang.com)

Tapi tetap saja film ini tidak sempurna. Efek CGI untuk set dan beberapa adegan tampak kasar. Salah satunya pada adegan ledakan. Begitupun efek untuk penggambaran eksterior Jakarta 2036 yang cukup lumayan meski masih banyak kekurangan di sana-sini. Dan hal ini tertutupi dengan tampilnya penggambaran tekhnologi yang mungkin akan ada pada tahun-tahun tersebut yang menurut saya cukup bisa dinikmati.

Adegan actionnya pun, seperti yang sudah saya jabarkan sebelumnya masih memiliki kekurangan. Terutama buat orang-orang seperti saya yang menganggap gaya tarung model Matrix itu sudah terlalu kuno. Namun untungnya, saya adalah tipe penonton yang mengagungkan cerita yang baik, dan film ini memenuhi syarat untuk itu. Dan terakhir, saya tak terlalu paham soal-soal tekhnis, yang pasti ketika akhirnya saya keluar bioskop saya merasa bersyukur berkesempatan menonton film ini. Saya berharap akan meralat ini, tapi mungkin ini adalah film terbaik saya untuk 2015 ini.

Sayangnya, film ini tampaknya tidak mendapatkan sambutan sebaik kualitas filmnya. Entah apakah yang salah, promosi yang kurang, momen yang tidak tepat, atau trailernya yang tidak maksimal (saya nyaris tidak jadi nonton waktu mengambil kesimpulan cuma dari trailernya). Bukan bermaksud membandingkan, tapi di kota saya saja misalnya, 3 Dara yang rilis duluan bahkan sampai hari ini masih diputarkan. Film ini seharusnya layak untuk dapat lebih. Tapi begitulah, industri film kita memang kejam.

Tapi paling tidak, film ini memberikan harapan bahwa dunia perfilman Indonesia masih ada harapan. Nama-nama segar macam Anggi Umbara, Mo Brother, Ismail Basbeth Ataupun Adriyanto Dewo, punya potensi untuk menjadi bintang yang sama cemerlangnya bahkan lebih dari senior-senior mereka macam Joko Anwar, Mira Lesmana, Riri Reza atau para sineas lainnya dalam angkatan yang lebih tua. Sebab memang industri film kita saat ini butuh para sineas yang punya nyali untuk bereksplorasi dan mencoba terobosan-terobosan baru. Saat ini kita butuh itu, untuk mendewasakan para penonton kita sendiri.

Khusus untuk Anggi Umbara, kabarnya dia didapuk menjadi penggarap film yang akan diangkat dari salah satu novel laris Indonesia "Bumi Manusia" karya Pramoedya Ananta Toer. Tentu tampak sebuah tantangan yang menarik meski saya sendiri ragu karena setahu saya Anggi belum pernah membuat film yang diadaptasi dari novel. Saya berharap filmnya tidak mengecewakan karena buku tersebut adala buku favorit saya. Paling tidak saya berjanji akan menontonnya dibioskop. Kita tunggu saja nanti.

10 komentar:

  1. Sekarang sudah mulai banyak kok Sutradara yang punya kualitas oke. Nggak bohong kok kalo bagus pasti banyak yang nonton.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar mas, cuma kadang film bagus, sekalinya di bioskop nggak begitu laku... sedih juga kadang-kadang...

      Hapus
  2. HAH? Serius ini filmnya bercerita tentang Indonesia di tahun 2036? Grafisnya bagus kan tapi? Duh saya jadi penasaran banget!! Anyway, makasih banyak infonya ya mas.. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, untuk ukuran film Indonesia lumayanlah... paling nggak ada tema yang "beda"diantara tema-tema yang biasa ada...

      Hapus
  3. Saya nonton 3 juga, Pak. Sayangnya ketika nonton malah bioskopnya yang gak support gambar filmnya dengan baik. Tapi buat saya setidaknya Indonesia sudah mengangkat tema-tema yang "berani" di film.

    BalasHapus
  4. Saya nonton 3 juga, Pak. Sayangnya ketika nonton malah bioskopnya yang gak support gambar filmnya dengan baik. Tapi buat saya setidaknya Indonesia sudah mengangkat tema-tema yang "berani" di film.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah kenapa tuh bioskopnya? Di kota saya cuma tayang tujuh hari dan saya nonton di hari ke 5. Teman-teman yang saya suruh nonton film ini nggak kesampaian nontonnnya... sayang film bagus cuma sebentar naik layarnya...

      Hapus
  5. Saya malah baru tahu disalah satu stasiun TVtapi ga full. Okelah fine kalo memang banyak film berkualitas. Tapi lebih kehidupan sehari-hari jadi malah gak minat banget. Begitu liat ini langsung jatuh cinta dan sakit hati bersamaan *karena ditarik*. Support film beginian..WNA aja support (dari bintang.com)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dari awal emang yakin bakal nggak tayang di TV sih soalnya banyak adegan tonjok-tonjokannya, pasti banyak yang kepotong...

      Hapus
  6. Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
    Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kbagi.com untuk info selengkapnya.

    Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)

    BalasHapus

Copyright © 2014 SANTOSA-IS-ME