Rabu, 19 Agustus 2015

NUTRISI SEORANG PENULIS

Sebagai seorang penulis, entah itu sebuah karya cetak atau media digital (blogger maksudnya), jam terbang saya memang tidak tinggi-tinggi amat. Malah boleh dibilang masih amatiran. Apalagi kalau soal perkara produktivitas. Saya sebenarnya tidak layak mengaku penulis. 

Tapi meski jelek-jelek begini, saya sudah beberapa kali dapat kesempatan bertemu muka dengan beberapa penulis yang boleh dibilang sudah profesional. Sebut saja seperti Bernard Batubara, Faudzil Adhim, Salim A Fillah, Pipit Senja dan beberapa nama lainnya. Beberapa diantaranya bahkan saya beruntung mendapat previlege berdiskusi panjang lebar tentang dunia tulis menulis. 

Sesibuk apapun, Benz sempatkan membaca minimal 100 hal. Kalau kamu?
(sumber foto: bookaholicfund.wordpress.com)
Selain kesempatan bertemu tatap muka, saya sering pula mengikuti beberapa pelatihan kepenulisan secara online. Salah satunya yang diselenggarakan oleh mbak Ari Wulandari atau yang lebih ngetop dengan nama penanya Kinoysan. Juga aktif bergabung dengan beberapa milis sastara online dan berteman secara maya dengan penulis-penulis favorit saya macam Kurnia Effendi, Dee dan Gola Gong.

Dan sebuah kesimpulan yang bisa saya tarik dari interaksi saya dengan para penulis hebat tersebut adalah bahwa mereka ini selain penulis yang handal, juga merupakan pembaca yang ulung. Tidak cuma soal kuantitas, tapi juga soal kualitas buku-buku yang mereka baca. Karena itulah, salah satu cara saya untuk mencari referensi buku-buku bagus adalah dengan mengecek buku-buku apa saja yang sedang dibaca oleh para penulis favorit saya.

Ada pepatah yang mengatakan bahwa kita adalah apa yang kita makan. Kalimat bijak ini bermakna bahwa makanan yang kita makan akan membentuk kita. Apa bila makanan yang kita makan adalah makanan yang baik dan halal, maka kita akan terbentuk menjadi manusia yang baik. Begitu pula sebaliknya, jika yang kita makan berasal dari yang buruk dan haram, jangan heran jika manusia yang terwujud cenderung pada keburukan.

Kalimat tersebut juga berlaku di dunia kepenulisan dengan sedikit perubahan. Yang kamu tulis adalah apa yang kamu baca. Yang menentukan kualitas sebuah tulisan selain skill si penulis juga adalah pengalaman membaca si penulis. Sering bukan para penulis mendapat influence dari penulis-penulis favorit mereka. Hal ini tentu saja karena penulis-penulis favoritnya tersebut adalah yang paling banyak karyanya ia baca dan paling berkesan untuknya.

Karena itulah membaca adalah sebuah keharusan bagi seseorang yang ingin menjadi penulis. Bahkan bagi penulis profesional sekalipun yang sehari-harinya kerjanya hanya menulis saja. Bernard Batubara konon selalu menargetkan membaca minimal 100 halaman sehari disela-sela kesibukannya sehari-hari. Bahkan Fauzil Adhim pernah bercerita bahwa ia selalu menyediakan waktu khusus untuk membaca. Dan bacaan merekapun bukan bacaan sembarangan. Melainkan bacaan yang akan membentuk rasa dari karya kepenulisannya kelak.


Max Havelar, dari SD sering dengar, baru sekarang bisa bacanya
(sumber foto: dokumen pribadi)
Karena itulah, buat siapa saja yang bercita-cita ingin menjadi penulis suatu saat kelak, mulailah dengan cara sederhana: perkayalah pengalaman membaca kita. Bacalah sebanyak mungkin, dan perlahan-lahan dengan sendirinya akan membuat kita terbiasa untuk membedakan karya yang berkualitas dan patut kita baca dengan yang tidak.

Tetaplah membaca, tetaplah menulis! 

7 komentar:

  1. Membaca tak hanya dari buku, membaca artikel ini pun bisa merubah main set saya untuk terus menulis dengan banyak membaca :)

    BalasHapus
  2. Membaca tak hanya dari buku, membaca artikel ini pun bisa merubah main set saya untuk terus menulis dengan banyak membaca :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tetap ada beda sih, ada perasaan puas tertentu kalau berhasil menyelesaikan satu buku...

      Hapus
  3. Memang bener demikian adanya. Sering saya dapati, penulis yang mumpuni di bidangnya kerap juga merupakan pembaca yang rakus. Untuk itu, jika niat sudah ditetapkan, tinggal tetapkan target, dan patuhi. Membaca dan menulis ibarat saudara kembar yang minta diasuh bersama-sama. Salam :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal juga mas. Kadang-kadang mematuhi target itu yang susah. Kuncinya ya di tekad sih kalau menurut saya.

      Hapus
  4. Max Havelar tuh yang jadi pelopor politik etis yah. Seru juga saat dimana sejarah berubah oleh pemikiran orang bule. Bagaimana kejahatan tidak bisa digeneralisikan menjadi ras tertentu. Bule juga banyak yang baik, kita aja yang dulu terlalu lemah untuk bisa mereka jajah. Maen dong ke http://www.rifalnurkholiq.com/2015/12/dipanggil-neng-sama-kang-bensin-part-i.html

    BalasHapus
    Balasan
    1. Om Pramoedya Ananta Toer sampai bilang novel ini sebagai buku yang membunuh kolonialisme...

      Hapus

Copyright © 2014 SANTOSA-IS-ME