PERSETERUAN PARA DEWA YANG SERU, RUMIT DAN PANJANG
Saya menemukan kesimpulan baru. Jika memang memungkinkan membaca novle berbahasa Inggris, bacalah buku aslinya jangan terjemahan. Karena sebaik-baiknya terjemahan, tidak akan sebaik citra rasa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh penulis.
Sebenarnya ini bukan pertama kali saya rasakan ketika membaca American Gods. Sebelumnya pengalaman serupa pernah saya rasakan ketika menyelesaikan novel Max Havelar. Bahkan lebih parah. Jika American Gods yang saya baca ini menurut saya cuma kehilangan cita rasa keindahannya saja, terjemahan Max Havelar yang saya baca dulu itu berantakan. Jangankan keindahan, memahami isinya saja butuh perjuangan ekstra.
Novel American Gods sendiri sudah saya beli cukup lama. Nama besar Neil Gaiman tentu yang membuat saya memasukkan novel ini ke keranjang belanjaan saya. Sebelumnya saya sudah menonton film Stardust. Film itu diangkat dari novel berjudul sama karangan Gaiman. Dan saya sangat menyukai film itu.
Neil Gaiman adalah seorang pencinta dongeng (Sumber gambar : dok. pribadi) |
Dari Stardust pula saya membayangkan Gaiman adalah sosok pencinta dongeng dan fantasi. Tak heran karya-karyanya mengangkat dunia fantasi. Seperti Stardust yang mengangkat tema fantasi klasik khas Inggris. Cerita seorang pria yang ingin membawakan bintang jatuh untuk kekasihnya.
Setelah itu saya tidak bertemu dengan karya Gaiman yang lain. Sampai akhirnya American Gods ini kebeli. Dan setelah menyelesaikan membacanya, keyakinan saya tetap sama. Gaiman memang pencinta dongeng dan dunia fantasi. Meski dalam American Gods dongeng-dongeng itu dikemas dengan gaya agak berbeda dalam genre urban fantasi.
Bercerita tentang Shadow, narapidana yang mendapati istrinya meninggal dunia tepat saat ia dibebaskan dari penjara. Belum hilang suasana duka kehilangan istri, ia justru mendapat tawaran pekerjaan sebagai bodyguard dari seorang pria misterius bernama Mr. Wednesday.
Mr. Wednesday ternyata bukanlah 'manusia' biasa. Dia adalah inkarnasi Odin, dewa tertinggi dari Skandinavia. Bersama Mr. Wednesday, Shadow melakukan petualangan menemui dewa-dewa kuno yang terlupakan dan kini hidup di Amerika Serikat tak ubahnya manusia biasa. Mulai dari Mr. Nancy (Anansi, Dewa laba-laba dari Afrika), Czernobog (Dewa bangsa Slavia), Mad Sweeney (Seekor Leprechaun, makhluk mitos bangsa Irlandia), Mr. Ibis, Mr. Jaquel (perwujudan dewa bangsa Mesir kuno) hingga Dewi Easter ( yang kini pemujaannya di Amerika tergantikan oleh Paskah).
Petualangannya bersama Mr. Wednesday membawa Shadow menuju sebuah perang antara dewa-dewa kuno yang terlupakan dengan dewa-dewa masa kini yang melambangkan berbagai kemajuan dunia seperti media dan tekhnologi. Serta sekelompok orang-orang 'Man in Black' yang dipimpin Mr. World yang melambangkan kekuasaan bawah tanah yang mengatur dunia.
Kisah American Gods karya Neil Gaiman ini penuh simbol. Berbagai hal mistis memiliki personifikasinya termasuk dewa-dewa masa kini seperti dewa transportasi, radio, televisi, IT, dll. Begitupun berbagai kisah dongeng dan mitos dimunculkan menjadi kisah nyata. Seperti Bilquis (Ratu Seba) yang digambarkan menjadi pekerja di kawasan 'distrik merah', Ifrit (ya benar, Jin Ifrit) yang harus menjadi supir taksi untuk menyambung hidup, hingga berbagai macam dewa kuno dan mitos yang kian melemah karena ditinggalkan pemujanya sehingga terpaksa hidup layaknya manusia biasa dengan kesusahan.
Seru, rumit dan panjang. Itu tiga hal yang saya rasakan ketika berusaha menyelesaikan novel ini. Ceritanya memang seru dan mengasyikkan. Ditambah kecerdasan Gaiman membangun karakter Shadow yang digambarkan sebagai pria 'lurus' ditengah intrik dewa-dewa ini. Serta tak lupa banyak twist yang bikin cerita tidak membosankan.
Namun American Gods juga terasa rumit bagi saya. Begitu banyak tokoh yang dihadirkan. Terlebih saya tidak begitu kenal dengan dewa-dewa tersebut karena memang berasal dari kultur yang berbeda, serta tak begitu tahu tempat yang menjadi latar cerita. Seperti misalnya House on the Rock atau Rock City. Mereka yang tak mencari tahu lagi seperti apa Rock City mungkin tidak bisa membayangkan seperti apa petunjuk arah kota tersebut yang terpasang dibanyak gudang dan bangunan di sekitar lokasi sebagaimana diceritakan di dalam novel. Atau seperti apa House on the Rock yang memiliki komedi putar besar dengan karakter-karakter makhluk mitologi di sana. Ya, beberapa tempat di dalam novel tersebut memang benar-benar ada di dunia nyata.
Dan pastinya novel ini sangat panjang. Novel terjemahan yang saya baca saja jumlah halamannya mencapai lebih dari tujuh ratus halaman. Tak heran saya butuh energi ekstra hingga akhirnya menyelesaikan membacanya. Walau akhirnya selesai juga dan menurut saya tidak mengecewakan.
Jadi pesan saya ketika membaca novel ini jangan jauh-jauh dari wikipedia. Setidaknya agar ada referensi seperti apa sih sebenarnya wujud dan karakter dewa yang digambarkan dalam novel ini atau seperti apa sih tempat-tempat yang sedang diceritakan Gaiman.
Saya sih tidak jera membaca karya Gaiman lainnya. Kebetulan sekuel novel American Gods ini, Anansi Boys sudah nangkring manis di rak buku, menanti giliran untuk dibaca. Jadi mari sama-sama kita berkenalan dengan dewa-dewa Amerika ini dan usahakan novel aslinya, jangan yang terjemahannya. Kecuali yang kalau bahasa Inggrisnya pas-pasan kayak saya. Mau gimana lagi kan?
Petualangannya bersama Mr. Wednesday membawa Shadow menuju sebuah perang antara dewa-dewa kuno yang terlupakan dengan dewa-dewa masa kini yang melambangkan berbagai kemajuan dunia seperti media dan tekhnologi. Serta sekelompok orang-orang 'Man in Black' yang dipimpin Mr. World yang melambangkan kekuasaan bawah tanah yang mengatur dunia.
Kisah American Gods karya Neil Gaiman ini penuh simbol. Berbagai hal mistis memiliki personifikasinya termasuk dewa-dewa masa kini seperti dewa transportasi, radio, televisi, IT, dll. Begitupun berbagai kisah dongeng dan mitos dimunculkan menjadi kisah nyata. Seperti Bilquis (Ratu Seba) yang digambarkan menjadi pekerja di kawasan 'distrik merah', Ifrit (ya benar, Jin Ifrit) yang harus menjadi supir taksi untuk menyambung hidup, hingga berbagai macam dewa kuno dan mitos yang kian melemah karena ditinggalkan pemujanya sehingga terpaksa hidup layaknya manusia biasa dengan kesusahan.
Seru, rumit dan panjang. Itu tiga hal yang saya rasakan ketika berusaha menyelesaikan novel ini. Ceritanya memang seru dan mengasyikkan. Ditambah kecerdasan Gaiman membangun karakter Shadow yang digambarkan sebagai pria 'lurus' ditengah intrik dewa-dewa ini. Serta tak lupa banyak twist yang bikin cerita tidak membosankan.
Namun American Gods juga terasa rumit bagi saya. Begitu banyak tokoh yang dihadirkan. Terlebih saya tidak begitu kenal dengan dewa-dewa tersebut karena memang berasal dari kultur yang berbeda, serta tak begitu tahu tempat yang menjadi latar cerita. Seperti misalnya House on the Rock atau Rock City. Mereka yang tak mencari tahu lagi seperti apa Rock City mungkin tidak bisa membayangkan seperti apa petunjuk arah kota tersebut yang terpasang dibanyak gudang dan bangunan di sekitar lokasi sebagaimana diceritakan di dalam novel. Atau seperti apa House on the Rock yang memiliki komedi putar besar dengan karakter-karakter makhluk mitologi di sana. Ya, beberapa tempat di dalam novel tersebut memang benar-benar ada di dunia nyata.
Diceritakan dalam novel tulisan seperti ini, mudah ditemui saat menuju Rock City (sumber gambar : Brent Moore) |
Dan pastinya novel ini sangat panjang. Novel terjemahan yang saya baca saja jumlah halamannya mencapai lebih dari tujuh ratus halaman. Tak heran saya butuh energi ekstra hingga akhirnya menyelesaikan membacanya. Walau akhirnya selesai juga dan menurut saya tidak mengecewakan.
Jadi pesan saya ketika membaca novel ini jangan jauh-jauh dari wikipedia. Setidaknya agar ada referensi seperti apa sih sebenarnya wujud dan karakter dewa yang digambarkan dalam novel ini atau seperti apa sih tempat-tempat yang sedang diceritakan Gaiman.
Saya sih tidak jera membaca karya Gaiman lainnya. Kebetulan sekuel novel American Gods ini, Anansi Boys sudah nangkring manis di rak buku, menanti giliran untuk dibaca. Jadi mari sama-sama kita berkenalan dengan dewa-dewa Amerika ini dan usahakan novel aslinya, jangan yang terjemahannya. Kecuali yang kalau bahasa Inggrisnya pas-pasan kayak saya. Mau gimana lagi kan?