Kamis, 31 Maret 2016

BERSAMA MEMERANGI STANTING DI KALBAR

Istilah Stanting atau stunting mungkin belum jadi istilah yang terlalu umum di masyarakat luas. Akibatnya kepedulian terhadap stunting masih sangat rendah. Saya sendiri ketika pertama kali hadir dalam kegiatan "Orientasi Media Tentang Pencegahan Stanting" yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kalbar dan Program Kesehatan dan Gizi Berbasis Masyarakat (PKGBM) dari Millennium Challenge Account - Indonesia (MCA-Indonesia), bertanya-tanya apa itu stanting?

Istilah stanting merupakan adaptasi dari bahasa Inggrisnya stunting yaitu, kondisi dimana tinggi atau panjang badan seseorang berada dibawah standar tinggi orang/anak seusianya. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013 menunjukkan bahwa di Kalimantan Barat angka stanting mencapai 38,6% yang artinya lebih dari sepertiga balita di Kalbar terancam memiliki tubuh pendek.

Kegiatan dibuka langsung oleh Kepala Dinas Kesehatan Kalimantan Barat, dr. Andy Jap. Dalam. Dalam kata sambutannya ia mengatakan bahwa Dinkes Kalbar berkomitmen serius untuk menekan angka stanting. “Dengan gerakan 1000 hari pertama kehidupan ini kita harapkan angka stanting di Kalbar bisa menurun.” Kegiatan tersebut tidak hanya dihadiri oleh para wartawan dari berbagai media, namun juga dari jajaran pejabat Dinas Kesehatan Kabupaten Landak dan fasilitator Generasi Sehat Cerdas (GSC) Kalbar.

Dr. Minarto bercerita tentang upaya pencegahan stanting di Indonesia
(sumber gambar dok pribadi)
Menurut Dr. Minarto, Direktur PKGBM MCA-Indonesia permasalahan stanting ini seringkali dianggap sepele. “Ini kaitannya bukan cuma dengan tinggi badan, namun juga persoalan dengan tumbuh kembang otak anak,” ungkapnya. Semenjak kehamilan sampai usia anak 2 tahun adalah masa-masa pertumbuhan otak anak dan stanting akan membuat pertumbuhan otak tidak mendapat ruang maksimal. “Akibatnya banyak anak yang mengalami stanting di usia ini memiliki kecenderungan ber-IQ lebih rendah dibading anak yang tumbuh dengan baik,” tambahnya.

Menyelesaikan masalah stanting ini tentu bukan perkara sederhana. Gizi buruk yang kronis serta seringnya balita terserang penyakit diduga sebagai sebab utama tingginya angka stanting di Indonesia. “Nyatanya peningkatan ekonomi tidak berbanding lurus dengan penurunan angka stanting. Hal ini karena perilaku dan pemahaman masyarakat terkait gizi tidak berubah. Sementara kondisi sanitasi masih buruk. Akibatnya kemungkinan gangguan penyakit pada balita jadi semakin besar.”

Maria Hartiningsih, wartawan senior Kompas yang turut hadir menjadi pembicara mengingatkan para jurnalis untuk lebih jeli menangkap isu stanting ini dari sudut pandang yang berbeda, “Stanting ini adalah hilirnya. Hulunya ada bermacam-macam persoalan yang multi dimensi,” ungkapnya. “Meski umumnya memang berkaitan langsung dengan masalah gizi dan kesehatan, namun bisa saja akar masalah dari stanting ini lebih luas meliputi aspek budaya, ekonomi, sosial bahkan politik.”

Isu stanting memang masih menjadi isu minor.  Karenanya dibutuhkan passion dan pengetahuan yang luas dari seorang jurnalis untuk mengangkatnya menjadi isu utama. “Jangan hanya mengambil data formal, jurnalis juga harus turun ke lapangan dan melihat situasi sebenarnya sehingga bisa menguraikan unsur ‘why’ dan ‘how’ sejelas mungkin kepada audience.“

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMPN), Indonesia menargetkan penurunan angka stanting sebesar 40% pada 2025. Gerakan 1000 hari pertama kehidupan (1000 HPK) yang salah satunya juga akan dilaksanakan di Kalimantan Barat, diharapkan menjadi upaya untuk menuntaskan target tersebut.
Bersama Ibu Maria Hartiningsih, eks. wartawan senior Kompas
dan juga peraih Yap Thiam Hien Award
(sumber gambar: dok pribadi) 
Banyak perkerjaan rumah di bidang kesehatan yang harus segera dituntaskan, dan stanting adalah salah satu diantaranya. Dibutuhkan kerjasama semua pihak mulai dari pemerintah, media dan juga masyarakat luas untuk bahu-membahu mewujudkan cita-cita bersama membangun generasi Indonesia yang cerdas dan berkarakter mulia. Selamat berkerja mewujudkannya ya, kita semua!!!

Tulisan ini bisa juga dibaca di: www.volarefm.com

Jumat, 18 Maret 2016

MERAYAKAN KREATIVITAS DI PONTIANAK PROLOC MARKET

Pontianak mungkin hanya sebuah kota kecil di pesisir barat Kalimantan. Tidak setiap hari kita menemukan beritanya di televisi-televisi nasional atau perbincangan para pejabat elit. Membandingkannya dengan kota seperti Jakarta, Bandung, Yogya atau Surabaya, jelas tidak apple to apple.

Bicara soal kreativitas, perkembangan industri kreatif di kota-kota besar tersebut tampak kian signifikan. Terbukti pemerintah sampai harus membentuk kementrian pariwisata dan ekonomi kreatif yang salah satu tugasnya adalah mengembangkan industri kreatif di negeri ini. Pontianak? Tak semapan industri kreatif di kota-kota besar memang, tapi geliat pertumbuhannya kian tampak.

Welcome to Pontianak Proloc Market
(sumber gambar : dok pribadi)
Ini mungkin hanya opini, namun sepengamatan saya sih, industri kreatif pontianak memang masih tampak jadi pengekor kota-kota besar. Apa yang sedang jadi trend di kota-kota besar coba dibawa ke Pontianak. Beberapa sukses, tidak sedikit juga yang menyerah kalah dan hilang lenyap ditelan persaingan. Burukkah? Tidak juga. Namanya juga industri yang baru berkembang, Pontianak sedang berproses. Buktinya semakin ke sini, unsur-unsur lokalitas semakin “terpampang nyata.” *Syahrini mode ON*

Bukti kekinian salah satunya bisa dilihat saat mengunjungi event bertajuk Pontianak Proloc Market yang dihelat pada 16-20 Maret 2016. Bertempat di halaman parkir Pontianak Convention Centre dan berbarengan dengan penyelenggaraan Borneo Ekspo 2016 (yang menempati gedung utama PCC), event ini adalah tempat berkumpulnya para produsen produk kreatif lokal lintas bidang. Meski penyelenggaraannya masih terkesan sederhana, namun antusiasme  yang ditunjukkan baik dari para pemilik usaha, pengisi acara maupun masyarakat kota Pontianak sangat luar biasa.

Dari kuliner, pomade, hingga robot...
(sumber gambar: dok pribadi)
Geliat kreativitas itu tampak dari stand-stand yang mewakili berbagai merek lokal. Saya juga melihat beberapa stand milik beberapa start-up lokal yang bergerak dibidang IT, sebuah penanda bahwa Pontianak siap mengejar Bandung atau Jakarta yang telah mencanangkan diri sebagai smart city. Ada pula stand yang menjual berbagai handycraft  seperti ukiran kayu, ukiran perak, hingga berbagai distro yang tampil dengan ciri khasnya masing-masing.

Yang tidak kalah menariknya adalah gelaran ini memberikan tempat pula bagi para pekerja kreatif. Bahkan beberapa penulis asal Pontianak menjadikan Pontianak Proloc Market ini sebagai momen peluncuran buku mereka. Ternyata geliat kepenulisan di Pontianak begitu masif. Mereka bahkan mencanangkan akan memecahkan rekor menerbitkan 1000 buku pada tahun 2016 ini.

Tidak hanya dunia kepenulisan, pekerja kreatif lainnya juga mendapat tempat. Sederet foto yang menyambut pengunjung dipintu masuk adalah hasil jepretan tangan-tangan profesional asal Pontianak. Dunia perfilman terwakili dengan pemutaran film “Mira,” sebuah film feature buatan sineas muda lokal. Film ini kabarnya sempat diputar secara terbatas di beberapa kota besar di Indonesia. Suguhan dari penampil lokalpun sudah pasti jadi pelengkap acara. Sayang saya tidak mengetahui kapan Cofternoon, band lokal favorit saya naik panggung.

Masuk-masuk dihadang hasil jepretan keren fotografer Pontianak
(sumber gambar: dok pribadi)
Nah bicara tentang pekerja kreatif, Pontianak Proloc Market juga tampaknya jadi ajang memperkenalkan profesi-profesi kreatif baru di masyarakat. Teman saya seorang food review dan pemilik blog tukangjalanjajan.com, menjadi salah satu pembicara dalam acara tersebut. Seperti yang kita tahu, perkembangan zaman membuat munculnya jenis-jenis profesi baru di masyarakat. Siapa duga sekarang orang bisa mencari duit hanya dengan nge-blog atau bermain media sosial. Dan asal tahu saja, sudah banyak anak Pontianak yang berhasil melakukannya.

Event ini mungkin hanya gambaran kecil tentang pertumbuhan industri kreatif anak-anak Pontianak yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Memang masih banyak potensi kreativitas ataupun brand-brand lokal yang belum terakomodir oleh penyelenggaraannya. Namun setidaknya, Pontianak Proloc Market ini sebuah langkah maju untuk terus mendorong keberanian berkreasi anak-anak lokal Pontianak. Suntikan semangat dan kode keras pula bahwa para kreator Pontianak siap bersaing di kancah nasional bahkan tidak menutup kemungkinan hingga Internasional.

Pengunjungnya rame, tanda antusias masyarakat tinggi...
(sumber gambar : dok pribadi)
Setahu saya sih beberapa tahun belakangan tak banyak ajang yang memang secara terang-terang melabeli diri sebagai tempat berkumpulnya produsen produk kreatif lokal sebagai mana event ini. Jika sukses, tentu ini adalah awalan untuk membuatnya event serupa yang jauh lebih besar tahun depan, lebih megah dan tentu saja lebih penuh kreativitas.


Mungkin seperti halnya hari raya Idul Fitri untuk Muslim, Natal untuk Nasrani, atau Imlek untuk etnis Tiong Hoa, Pontianak Proloc Market bisa jadi adalah hari raya buat para kreator-kreator lokal pontianak. Tempat untuk saling bersilaturahmi dan juga kesempatan untuk memperkenalkan produknya kepada khalayak yang lebih luas. Sebuah cara bagi anak-anak muda Pontianak untuk merayakan kreativitas mereka.
Selamat merayakan kreativitas...
(sumber gambar : dok pribadi)

Rabu, 16 Maret 2016

HAT YAI, PESONA DI SELATAN THAILAND

Bicara soal liburan ke Thailand, nama Bangkok, Pattaya dan Phuket mungkin bakal jadi pilihan destinasi utama. Namun bukan berarti kota-kota lainnya tak layak kunjung. Terutama untuk mereka yang lebih menikmati ketenangan dan interaksi sosial dengan masyarakat lokal, Hat Yai patut dijadikan salah satu list tujuan.

Hat Yai adalah kota terbesar di daerah selatan Thailand. Berada di provinsi Songkhla yang berbatasan langsung dengan Malaysia, menjadikan corak budaya di kota ini begitu unik. Meski dominan dengan budaya Thai dan agama Budha seperti kebanyakan wilayah Thailand, namun perempuan-perempuan berjilbab bukanlah sesuatu yang asing disana. Mencari makanan halal pun sangatlah mudah. Banyak pula penduduk Malaysia yang mencari nafkah di sini. Seorang pengemudi Tuk-tuk (angkutan khas Thailand) yang mengantar saya di salah satu malam saya di Hat Yai mengaku berasal dari Malaysia dan berbahasa melayu dengan fasih. Dan memang orang-orang berbahasa melayu masih bisa dijumpai di kota ini.

Kedatangan saya di Hat Yai adalah untuk menikmati suasana berbeda dari Songkran (tahun baru-nya orang Thailand). Namun sayang saya salah memperhitungkan jadwal. Songkran di Hat Yai tak selama yang di Bangkok, akibatnya ketika saya tiba di Hat Yai, Songkran ternyata telah usai.

Tidak mau perjalanan darat semalaman dari Kuala Lumpur ke Hat Yai sia-sia, maka saya memutuskan menikmati apa saja yang dimiliki oleh Hat Yai. Dan ternyata Hat Yai punya banyak tempat menarik yang membuat saya tidak menyesal pernah mengunjunginya.

Wat Hat Yai Nai

Wat Hat Yai Nai adalah kuil Budha yang terdapat patung Budha tidur (Reclining Buddha) raksasa di sana. Konon kabarnya ini adalah patung Budha tidur raksasa terbesar ketiga di dunia. Tidak hanya patung Budha raksasa, di area kuil juga terdapat beberapa bangunan yang berukuran lebih kecil. Di dalamnya terdapat berbagai patung Budha dalam berbagai posisi dan wujud. Ada patung Budha tertawa, ada patung Budha anak-anak, bahkan juga ada patung ular berkepala tujuh.

Di depan Wat Hat Yai Nai...
(sumber : dok pribadi)
Selain kuil, juga terdapat pemakaman yang jadi tempat kunjungan ziarah masyarakat Thailand pada musim Songkran (tahun baru). Ruangannya terdapat tepat di bagian punggung patung Budha tidur raksasa tersebut.

Lee Garden Plaza

Saya bukan penggemar wisata belanja, jadi tentu bukan benar-benar Lee Garden Plaza yang saya maksud. Melainkan deretan pedagang makanan kaki lima di depannya. Semenjak jam empat sore, halaman depan Lee Garden Plaza dan sekitarnya akan menjadi tak ubahnya surga bagi para pencinta street food seperti saya.

Ayam Bakar, Cumi kering, buah-buahan segar, aneka macam sosis terpajang di pinggir-pinggir jalan dan aromanya terbang bebas memenuhi udara. Makanan-makanan berat macam Tom Yam, Som Tam, Manggo Sticky Rice hingga Nasi Lemak juga tersedia. Beberapa pedagang souvenir tak ketinggalan menggelar dagangannya.


Salah satu lapak ayam bakar di area sekitar Lee Garden Plaza
(sumber: dok pribadi)
Jika ingin lebih puas berbelanja souvenir atau oleh-oleh, Pink Lady Market yang juga terletak tidak jauh dari kawasan tersebut bisa jadi pilihan. Disana terdapat berbagai jenis oleh-oleh bahkan yang bertuliskan Bangkok, Pattaya atau Phuket sekalipun.

Kim Yong Market

Hat Yai memang surga belanja murah. Letaknya yang jadi penghubung dari Malaysia dengan kota-kota besar lain di Thailand menjadikannya kota perdagangan yang sibuk. Salah satunya bisa dilihat di Kim Yong Market.

Berderet-deret pedagang kaki lima menggelar lapak dagangannya. Mulai dari makanan ringan, oleh-oleh, buah-buahan, bunga, perkakas rumah tangga, jimat, perlengkapan sembahyang, pakaian hingga lotre. 
Kim Yong Market tampak depan...
(sumber gambar : dok pribadi)
Sedikit kesulitan adalah tidak banyak pedagang di sana yang bisa berbahasa Inggris. Beruntung jika mendapati pedagang yang bisa berbahasa melayu, namun jika tidak, terpaksa menggunakan bahasa isyarat.

Hat Yai Municipal Park

Taman ini berada sedikit di pinggir kota, setidaknya itu yang saya duga. Taman ini sangat-sangat luas dan terdiri dari beberapa bukit. Ada banyak aktivitas yang bisa dilakukan. Taman ini mempunyai danau yang luas dengan ikan-ikan di dalamnya. Selain itu juga ada parade lampion berbagai bentuk yang menambah keindahan taman tersebut.

Di Hat Yai Municipal Park ada tiga tempat tujuan yang layak kunjungi. Yang pertama adalah kuil Brahman yang dipenuhi dengan patung-patung Gajah. Untuk tiba di kuil ini bisa dengan menggunakan kereta gantung. Selain kuil Brahman ada juga patung budha emas raksas yang menghadap kota Hat Yai. 
Patung Budha Emas Raksas di atas bukit Hat Yai Municipal Park
(sumber: dok pribadi)
Seperti halnya Kuil Brahman, patung Budha emas ini juga berada di puncak bukit. Agak turun ke bawah, ada patung Dewi Kwan Im dan juga kuil berisi patung dewi Kwan Imm yang menunggang dua belas lambang shio. Kesempatan melihat keindahan Hat Yai dari ketinggian, menjadikan tempat ini harus jadi persinggahan kala datang ke Hat Yai.

Klong Hae Floating Market

Ternyata Hat Yai juga punya Floating Market yang bisa jadi tujuan kunjungan buat para wisatawan. Memang tidak buka tiap hari dan berada agak jauh dari pusat kota, namun tempat ini tidak layak untuk dilewatkan begitu saja.

Di sini kita bisa berbelanja berbagai macam hal, terutama makanan. Berderet-deret perahu dengan muatan barang dagangan siap menunggu kita. Kemampuan bertransaksi dengan baik dibutuhkan untuk mendapatkan harga terbaik. Pesan saya sih jangan terburu-buru memutuskan, karena barangkali akan ada banyak pilihan yang jauh lebih baik dan menggiurkan di depan sana.
Klong Hae, Hat Yai Floating Market
(sumber gambar: triehartanto.blogspot.com)
Dan jika berkunjung dengan Song Teaw, ingat pula untuk jangan sampai kemalaman. Biasanya jam tujuh ke atas Song Teaw sudah menghilang dari jalanan.  Terpaksa naik Tuk-tuk artinya harus siap untuk menawar dengan kejam kembali.

Pantai Shamila

Berada di kota Shongkla, yang tetap bisa dijangkau dari Hat Yai. Di pantai ini terdapat patung putri duyung yang melegenda. Keindahan pantai berpasir dilengkapi deretan restoran sea food berharga terjangkau. Penggemar makanan laut, tidak akan melewatkan tempat satu ini.

Cukup berjalan kaki dari pantai, ada Tang Kuan Hill. Di puncaknya terdapat semacam kuil berstupa dan patung Budha. Serupa dengan beberapa tempat lain di dunia, di sini juga ada tempat untuk “gembok cinta.” Barangkali juga ada mitos yang sama bahwa siapa yang mengaitkan gembok yang telah ditulis nama pasangan akan langgeng. 


Deretan gembok cinta yang bikin baper...
(sumber gambar : tukangjalanjajan.com)
Terlepas dari legenda apapun, menikmati dari ketinggian keindahan kota Songkhla yang berbatasan dengan laut sudah cukup jadi alasan untuk datang ke sini.


Pulau Ko Yo 

Dari Tang Kuan Hill kita akan bisa melihat sebuah pulau ditengah danau luas yang terhubungkan dengan sebuah jembatan. Itulah Ko Yo Island yang berada di tengah danau Shongkla. 


Pulau Ko Yo (yang dihubungkan dengan jembatan) dilihat dari puncak Tang Kuan Hill
(sumber gambar: dok pribadi)
Di pulau Ko Yo juga terdapat patung Budha tidur berwarna emas. Selain itu ada juga patung kepala naga raksasa yang konon merupakan salah satu legenda nelayan di daerah Songkhla. Di danau Shongkla juga tersedia feri yang bisa kita naiki untuk mengeksplor danau Shongkla.

Yah, tempat-tempat tersebut mungkin hanya beberapa destinasi yang kebetulan telah terkenal saja. Ada banyak pengalaman menyenangkan yang bisa didapatkan di Hat Yai entah sebagai kota persinggahan ataupun lebih dari itu. Bahkan dengan sekedar berkeliling kota, berinteraksi dengan penduduknya atau menikmati Thai Massage di sana, kita pasti akan setuju bahwa Hat Yai memang layak dikunjungi.
Copyright © 2014 SANTOSA-IS-ME